Daging-daging yang diimpor dari negara lain dapat diklasifikasikan 
sebagai berikut.
1. Daging-daging tersebut berasal dari negara Islam
Dalam hal ini, daging tersebut boleh dikonsumsi, sebab asal hukumnya 
mereka menyembelih dengan cara Islam. Hal ini berdasarkan hadits Aisyah x
 yang mengatakan bahwa mereka (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah,
 sesungguhnya di sini ada satu kaum yang baru saja meninggalkan 
kesyirikan. Mereka membawakan daging-daging untuk kami yang kami tidak 
tahu apakah mereka menyebut nama Allah l atasnya atau tidak. Rasulullah n
 menjawab,
اذْكُرُوا أَنْتُمْ اسْمَ اللهِ وَكُلُوا
“Kalian sebutlah nama Allah dan makanlah!” (HR. al-Bukhari no. 6963)
Hadits ini menunjukkan bahwa hukum asal sembelihan seorang muslim adalah
 halal dan menyebut nama Allah l, meskipun kita tidak mengetahui secara 
persis apakah daging tersebut disembelih dengan cara yang sesuai dengan 
syariat atau tidak.
2. Daging-daging impor tersebut adalah daging yang tidak disyaratkan 
untuk disembelih, seperti ikan.
Dalam hal ini, daging tersebut halal untuk kaum muslimin, meskipun 
diimpor dari negara kafir yang bukan ahli kitab, seperti halnya ikan. 
Lain halnya apabila diketahui bahwa pada ikan yang telah dikemas dalam 
kotak tersebut mengandung zat-zat yang diharamkan bagi kaum muslimin, 
seperti lemak babi atau yang lainnya.
3. Daging-daging sembelihan tersebut diimpor dari negara kafir yang 
bukan ahli kitab.
Daging ini hukumnya haram untuk dimakan, sebab Allah k hanya 
menghalalkan sembelihan yang berasal dari ahli kitab untuk kaum 
muslimin, yaitu yang sejak lahir telah menisbatkan dirinya kepada agama 
Yahudi dan Nasrani, bukan agama lain, dan dia bukan termasuk orang yang 
murtad dari Islam lalu menjadi Yahudi atau Nasrani.
4. Daging sembelihan yang diimpor dari negara ahli kitab.
Adapun daging jenis ini, terbagi menjadi tiga keadaan.
a. Apa yang diketahui secara yakin bahwa ia disembelih dengan cara yang 
sesuai syariat, maka ini dihalalkan berdasarkan ijma’ para ulama.
b. Apa yang diyakini bahwa daging tersebut disembelih dengan cara yang 
tidak disyariatkan, seperti membunuhnya dengan cara dipukul hingga mati,
 atau dengan cara dilempar ke mesin penggiling dalam keadaan 
hidup-hidup, atau menyembelih dengan menyebut nama Yesus, dan yang 
semisalnya, yang sahih dari pendapat para ulama adalah haram. Sebab, 
jika diketahui bahwa seorang muslim menyembelih dengan cara yang tidak 
syar’i, sembelihan tersebut dihukumi bangkai dan haram untuk dikonsumsi,
 lebih-lebih lagi sembelihan kafir dari kalangan ahli kitab.
c. Daging yang diimpor dari negeri ahli kitab, namun tidak diketahui 
apakah ia disembelih secara syar’i atau tidak.
Keadaan inilah yang diperselisihkan oleh para ulama. Dalam hal ini 
ada dua pendapat yang masyhur.
1) Pendapat yang mengatakan bahwa hal tersebut dihalalkan.
Pendapat ini yang dikuatkan oleh asy-Syaikh Ibnu Baz dan asy-Syaikh Ibnu
 Utsaimin.
2) Pendapat yang mengatakan bahwa hal itu diharamkan.
Di antara ulama yang menguatkan pendapat ini adalah asy-Syaikh Abdullah 
bin Muhammad bin Humaid, dan asy-Syaikh Shalih al-Fauzan 
hafizhahumullah.
Adapun hujah atau alasan pendapat pertama bahwa hukum asal sembelihan
 ahli kitab adalah halal berdasarkan firman Allah k,
“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) 
orang-orang yang diberi al-Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu 
halal pula bagi mereka. (Dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang 
menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan 
wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi 
al-Kitab sebelum kamu, bila kamu telah membayar maskawin mereka dengan 
maksud menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) 
menjadikannya gundik-gundik. Barang siapa yang kafir sesudah beriman 
(tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di 
hari akhirat termasuk orang-orang merugi.” (al-Maidah: 5)
Maka dari itu, ayat ini menunjukkan bahwa hukum asalnya adalah halal 
hingga diketahui bahwa mereka menyembelihnya dengan cara yang tidak 
syar’i.
Dalil lainnya adalah hadits Aisyah x, mereka berkata, “Wahai 
Rasulullah, sesungguhnya di sini ada satu kaum yang baru saja 
meninggalkan kesyirikan, mereka membawakan daging-daging untuk kami yang
 kami tidak tahu apakah mereka menyebut nama Allah atasnya atau tidak.” 
Rasulullah n menjawab,
اذْكُرُوا أَنْتُمْ اسْمَ اللهِ وَكُلُوا
“Kalian sebutlah nama Allah dan makanlah!” (HR. al-Bukhari no. 6963)
Hadits ini menunjukkan bahwa hukum asal sembelihan orang yang dibolehkan
 sembelihannya adalah halal, meskipun diragukan apakah ia menyebut nama 
Allah l tatkala menyembelih atau tidak, dan meskipun tidak diketahui 
apakah ia menyembelih dengan cara syar’i atau tidak.
Adapun hujah pendapat kedua di antaranya, hukum asal mengonsumsi hewan 
adalah haram hingga diketahui secara meyakinkan bahwa ia disembelih 
dengan cara yang syar’i. Lebih-lebih lagi jika negeri tersebut diketahui
 mayoritas metode penyembelihannya tidak dengan cara yang syar’i.
Asy-Syaikh Abdullah bin Muhammad bin Humaid berkata, “Daging-daging 
impor yang dikemas dalam kotak, jika impornya berasal dari negara Islam 
atau negara ahli kitab, atau mayoritas mereka ahli kitab, dan kebiasaan 
mereka menyembelih dengan cara yang syar’i, tidak diragukan 
kehalalannya. Jika daging yang diimpor tersebut berasal dari negara yang
 kebiasaan mereka menyembelih dengan cara mencekik, memukul kepala, 
dengan tegangan listrik, dan yang semisalnya, tidak diragukan tentang 
keharamannya.”
Beliau kemudian berkata, “Adapun jika kondisi daging tersebut dan 
keadaan penduduk negeri yang mengekspor daging tersebut tidak diketahui,
 apakah mereka menyembelihnya dengan cara yang syar’i atau tidak, dan 
tidak diketahui keadaan para penyembelih, tidak diragukan tentang 
keharaman daging yang diimpor dari negara yang tidak diketahui kebiasaan
 mereka dalam hal menyembelih, dengan lebih menekankan sisi larangannya.
 Yaitu, apabila terkumpul sesuatu yang membolehkan dan sesuatu yang 
melarang, lebih ditekankan sisi larangannya, baik itu dalam hal 
sembelihan, hewan buruan, maupun pernikahan. Hal ini sebagaimana yang 
telah ditetapkan oleh para ulama, di antaranya Syaikhul Islam Ibnu 
Taimiyah, al-Allamah Ibnul Qayyim, al-Hafizh Ibnu Rajab, dan pengikut 
mazhab Hambali selain mereka. Demikian pula al-Hafizh Ibnu Hajar 
al-Asqalani, al-Imam an-Nawawi, dan masih banyak lagi ulama lain 
rahimahumullah. Mereka berdalil dengan hadits yang terdapat dalam 
Shahihain dan yang lainnya, dari hadits Adi bin Hatim z bahwa Rasulullah
 n bersabda,
إِذَا أَرْسَلْتَ كَلْبَكَ الْمُعَلَّمَ وَذَكَرْتَ اسْمَ اللهِ 
عَلَيْهِ فَكُلْ فَإِنْ وَجَدْتَ مَعَهُ كَلْبًا آخَرَ فَلَا تَأْكُلْ
“Jika engkau melepas anjingmu yang terlatih dan engkau menyebut nama 
Allah atasnya, makanlah! Namun, jika engkau mendapati ada anjing yang 
lain bersamanya, janganlah engkau memakannya!”
Hadits ini menunjukkan bahwa jika bersama anjing buruannya yang 
terlatih ada anjing yang lain, hendaknya dia tidak memakannya sebagai 
bentuk penekanan sisi pelarangan. Telah terkumpul pada buruan ini 
sesuatu yang membolehkan, yaitu diutusnya anjing terlatih, dan yang 
tidak membolehkan, yaitu ikut sertanya anjing yang lain. Rasulullah n 
pun melarang memakannya. Rasulullah n bersabda,
إِذَا أَصَبْتَهُ بِسَهْمِكَ فَوَقَعَ فِي الْمَاءِ فَلَا تَأْكُلْ
“Jika engkau melukainya dengan panahmu lalu ia jatuh ke air, jangan 
engkau memakannya!” (Muttafaq ‘alaihi)
Dalam sebuah riwayat at-Tirmidzi,
إِذَا عَلِمْتَ أَنَّ سَهْمَكَ قَتَلَهُ وَلَمْ تَرَ فِيهِ أَثَرُ 
سَبُعٍ فَكُلْ
“Jika engkau mengetahui bahwa panahmu yang membunuhnya, dan engkau 
tidak melihat bekas gigitan hewan buas, makanlah!” (At-Tirmidzi berkata,
 “Hasan sahih,” dari Adi bin Hatim z)
(kitab al-Ath’imah, 163—164)
Dari pemaparan kedua pendapat di atas, tampak bahwa pendapat kedua 
lebih kuat dari beberapa sisi.
1. Allah l mengharamkan daging hewan yang mati tanpa disembelih 
secara syar’i.
Allah l berfirman,
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging 
hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang 
dipukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan yang diterkam binatang buas, 
kecuali yang sempat kamu menyembelihnya….” (al-Maidah: 3)
Jadi, daging yang tidak jelas tersebut kembali kepada hukum asal, 
yaitu haram.
2. Nash-nash syar’i menunjukkan bahwa jika berkumpul antara yang 
membolehkan dan yang melarang, maka didahulukan yang melarang dari yang 
membolehkan, sebagaimana yang telah disebutkan di atas.
3. Berbagai jenis daging yang demikian banyak jumlahnya di pasaran 
dunia, seperti daging ayam dan yang lainnya, sangat jauh kemungkinan 
disembelih dengan sembelihan yang syar’i berdasarkan syarat-syaratnya.
4. Sikap meninggalkan hukum-hukum agama dan hukum-hukum syar’i telah 
mendominasi mayoritas manusia di zaman ini, amanah dan kejujuran pun 
berkurang, sehingga ucapan mereka bahwa daging itu disembelih 
berdasarkan syariat Islam tidak bisa dijadikan sebagai sandaran. 
Lebih-lebih lagi, ditemukan sebagian daging ayam yang lehernya tidak 
tampak bekas sembelihan. Bahkan, ada juga sebagian kotak yang tertulis 
“disembelih berdasarkan syariat Islam” dalam keadaan isi kotak tersebut 
adalah ikan yang memang tidak perlu disembelih, yang menunjukkan bahwa 
tulisan tersebut hanyalah sekadar bualan belaka.
5. Alasan pendapat pertama hanya berpegang kepada keumuman firman 
Allah l yang menjelaskan halalnya sembelihan ahli kitab. Sementara itu, 
ayat tersebut telah dikhususkan oleh nash-nash lain yang menunjukkan 
ditekankannya sisi pengharaman daripada sisi yang membolehkan tatkala 
berkumpul pada satu benda.
(lihat kitab al-Ath’imah, al-Allamah Shalih al-Fauzan, 165—166)
Sumber : http://asysyariah.com/hukum-daging-impor.html
0 komentar:
Posting Komentar